Monthly Archives: September 2011

Leutik-leutik Kuda Kuningan (Kecil-kecil Kuda Kuningan)

Standard

 

 

 

 

 

 

 

 

 

source : google.com

LATAR BELAKANG

Menurut Maria Koniq salah seorang budayawan yang berasal dari Swiss dalam bukunya : Sosicultural : Sundanis, menyebutkan bahwa kebudayaan yang berlangsung ribuan tahun yang bertahan sampai paruh tahun 90-an adalah budaya badarat (berjalan kaki). Hal itu disebabkan di Sunda tidak ada tradisi menaiki kendaraan. Seperti kuda, kerbau, sapi dan gajah atau binantang lainnya.

Hal itu berbeda dengan yang terjadi di kerajaan lainnya di Asia seperti Bengali India. Sebagai alat transfortasinya Gajah. Afrika, khususnya Mesir menggunakan Unta dan Keledai. Begitu pun di daratan Indocina yakni Cina, Kamboja, Vietnam, Thailand dan lainnya lebih kaya dengan alat tunggangan yakni Kuda, Keledai, Gajah, Kerbau, Sapi dan burung.

Pengaruh alat transfortasi darat dengan menggunakan hewan peliharaan ke wilayah-wilayah lain terjadi pada masa muhibahnya orang-orang daratan Indocina ke Asia Tenggara atau disebut ke wilayah selatan Asia. Terjadinya muhibah sekitar abad ke 1200 SM (sebelum masehi). Begitu pun terjadinya gelombang perpindahan penduduk dari India sekitar abad ke V M (Masehi).

Terjadinya perpindahan dari India ke Asia wilayah timur karena terjadi peperangan antar Kerajaan di Bengali (India). Dampaknya, termasuk Nusantara mengalami perubahan dari aspek transfortasi. Semula hanya berjalan kaki dari satu daerah ke daerah lainnya berkembang menggunakan hewan, terutama gajah yang berasal dari India.

Gajah pada masa itu sudah terdapat di kepulauan Sunda Besar dampak dari muhibah dari daratan Indocina. Hal itu diperkuat dalam sejarah kerajaan Nusantara yang pertama yakni Kerajaan Salakanagara yang berada di ujung kulon. Kemungkinan digunakannya Gajah sebagai alat transfortasi khususnya raja-raja dikarenakan dari daerah asal Mulawarman sudah mengenalnya.

Prof. DR. Slamet Mulyana, sejarawan lulusan Belanda dalam bukunya Babad Tanah Jawi dan Sejarah Tionghoa di Indonesia menegaskan. Abad ke IX atau Tahun 1405-1425 M (Masehi), Armada Tiongkok, masa Dinasti Ming di bawah Laksamana Haji Ceng Ho atau Sam Po Bo menguasai perairan dan panta-pantai Nan Yang (Asia Tenggara).

Tahun 1407, merebut Kukang (Palembang sekarang-red). Dan pada Tahun 1413, selama satu bulan singgah di Semarang untuk perbaikan kapal. Dalam perjalanan ini ada beberapa catatan penting yakni adanya penyebaran nilai-nilai arsitektur kepada masyarakat di pulau jawa. Pengenalan mengenai alat transfortasi dengan menggunakan kuda serta penyemaian pohon bambu.

Ketiga aspek itu sangat penting dalam perjalanan peradaban masyarakat di Indonesia, khususnya Sunda. Dilihat dari arsitektur, banyak bangunan peninggalan pada masa itu yang sampai saat ini masih terjaga. Begitu pun dengan tanaman bambu yang menjadi tanaman rakyat dan besar manfaatnya. Begitu pun sarana transfortasi kuda yang masih dapat dirasakan sampai sekarang.

  1. SEJARAH KUDA KUNINGAN

Keberadaan kuda di Kabupaten Kuningan, tidak terlepas dari pengaruh besar Ong Tin Nio atau Nyi Rara Sumanding, istri Sunan Gunung Djati. Pengaruh besar dalam tata kehidupan mulai dari aspek, sosial, ekonomi, politik dan kebudayaan. Namun sepak terjangnya, jarang terungkap. Hal itu disebabkan beliau menjadi aktor di belakang layar.

Maksudnya, sebagai ibunda dari Adipati Kuningan atau Suranggajaya yang dinobatkan sebagai Adipati dan membawahi keadipatian Kuningan. Dalam sejarah Kuningan ada terjemahaan sebagai kearifan lokal bahwa Ong Tin Nio sebagai ibunda asuh. Semula Kuningan terbagi dua kerajaan kecil yakni Kajene dan Luragung dapat disatukan menjadi menjadi satu wilayah yakni Kuningan.

Sejak berdirinya Kerajaan Kajene sekitar abad ke VI M, dan dibawah kekuasaan Kerajaan Galuh. Masyarakatnya tidak mengenal alat transfortasi jalan darat maupun udara. Mereka melakukan perjalanan dengan berjalan kaki. Hal itu berlangsung secara beratus-ratus tahun. Hal itu bukan disebabkan tidak adanya alat transfortasi namun semata-mata belum merasakan manfaatnya.

Mungkin juga disebabkan ketidaktahuan pada masa itu. Namun pada abad ke XIV M, Ong Tin Nio yang datang ke Luragung untuk bertemu dengan suaminya, Sunan Gunung Djati. Baru lah diperkenalkan salah satu alat transfortasi yakni kuda. Kuda pada jaman itu, oleh Ong Tin Nio bukan sebagai alat transfortasi tapi merupakan binatang peliharaan untuk Suranggajaya.

Kuda sebagai alat peliharaan, memang masih asing pada masa itu. Namun sepertinya Ong Tin Nio sudah mengenal kuda. Hal itu disebabkan di wilayahnya memang banyak kuda. Kuda yang diberikan ke Suranggajaya pun berasal dari Campa (sekarang Kamboja). Ia sengaja membawa dari negara asalnya untuk transfortasi darat di daerah tujuannya.

Kuda yang dibawanya pun tidak banyak hanya beberapa ekor saja. Hal itu mengingat perjalanan laut yang lama dan isi kapal tidak memungkinkan. Hanya karena ia seorang perempuan dan terbilang masih putri raja maka disediakan alat itu untuk menempuh perjalanan jauh.

1).  Mengapa Kuda Kuningan Kecil

Kuda Kuningan sejak dahulu dikenal kecil makanya populer dengan sebutan kecil-kecil kuda kuningan. Sebetulnya pada masa Adipati Kuningan, kuda kuningan tergolong besar. Hanya oleh Ong Tin Nio, kuda bawaannya diternakan dengan kuda liar yang ada sejak dahulu kala. Kemungkinan kuda liar itu berasal dari muhibah pada jaman sebelum masehi.

Kuda liar tersebut hidup di sekitar lereng Gunung Ciremai bersama hewan lainnya. Kuda liar tersebut bertubuh kecil karena diperkirakan hasil evolusi seperti teori Darwin. Tubuhnya mengecil karena makanan yang tersedia sangat melimpah. Selain itu, kuda yang berperawakan besar dimangsa oleh binatang lebih besar.

Seperti hasil temuan fosil binatang purba di daerah Maneungteung Kecamatan Cidahu, dan Pasir Ipis Kecamatan Cibingbin. Hasil evolusi ini membawa binatang kuda lebih kecil dari sebelumnya. Sehingga ketika peternakan kuda yang dilakukan Ong tin Nio menjadi beragam. Sesuai hasil perkawinan silang antara kuda bawaannya dengan kuda liar.

2).  Si Windu

Kuda tunggangan milik Adipati Kuningan dikenal dengan nama si Windu. Kuda tersebut dikenal memiliki ketangkasan dalam membantu tuannya melaksanakan tugas kerajaan. Hal itu dibuktikan ketika terjadi peperangan antara Pasukan Kuningan dengan Galuh yang terjadi di Gunung Gundul atawa lebih dikenal dengan sebutan Palagan di Gunung Gundul.

Si Windu menyelamatkan Adipati Kuningan dari jeratan oyong ketika bertarung dengan Patih Arya Kiban dari Kerajaan Galuh. Selain itu membantu pula Adipati Kuningan dalam perang Batavia dengan Portugis. Menghancurkan Kerajaan Pajajaran di Bogor, Demak dan Wilatikta (sekarang Purworejo) Jawa Timur dalam perang melawan Portugis.

Sudah disebutkan di atas, bahwa kuda tunggangan Adipati Kuningan berasal dari Campa yang dibawa Ong Tin Nio sebagai hewan peliharaan. Dengan kata lain, si Windu sudah sangat akrab dengan Adipati Kuningan karena sejak kecil ia sudah mengenal hewan itu.

 

Sumber : wartadesa2007.wordpress.com & Tabloid Empati Edisi XXVI, 8-2011